Ketika kita mempelajari
studi Gender, maka kita akan disuguhkan dengan istilah Bias Gender, Kesetaraan
Gender, Feminis dan Maskulin. Pada kali ini penulis akan menguraikan unsur-unsur
Feminis dan ketidak setaraan gender yang terdapat pada film Perempuan Berkalung
Sorban yang dirilis pada penghujung tahun 2008, serta pandangan islam akan
perempuan.
Film Perempuan Berkalung
Sorban sangatlah kental dengan nuansa ketidakberdayan perempuan di mata
laki-laki, film tersebut syarat dengan nuansa kaum maskulin yang begitu rendah
memandang kaum feminim dan menganggapnya sebagai kaum marginal. Film ini
bercerita tentang perjuangan seorang wanita pesantren yang berusaha untuk
mengangkat derajat wanita agar setara dengan laki-laki, ia berusaha berontak
dari ketimpangan kedudukan yang terjadi di pesantrennya. Ia membuktikan bahwa
wanita juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bahkan Allah SWT
memuliakan wanita dengan menjadikan surga di bawah telapak kakinya, denga usaha
yang gigih ia berhasil mengangkat derajat perempuan dan membuka mata oarang
banyak yang selama ini menganggap bahwa wanita lebih rendah derajatnya dari
pada laki-laki. Sebelum saya mereview film ini saya akan menjelaskan secara
singkat sipnosis dari film ini.
Film ini berkisah mengenai perjalanan
hidup Anissa, seorang wanita berkarakter cerdas, berani, dan berpendirian kuat.
Anissa hidup dan dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi Islam konservatif di
keluarga Kyai yang mengelola sebuah pesantren kecil Salafiah putri Al-Huda di Jawa Timur,
Indonesia.
Dalam lingkungan dan tradisi konservatif tersebut, ilmu sejati dan benar
hanyalah al-Qur’an, Hadits
dan Sunnah,
dan buku-buku modern dianggap sebagai ajaran menyimpang.
Annisa mulai merasakan adanya
perlakuan yang ganjil bagi dirinya. Ia merasa haknya dikecikan jika
dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Annisa tak diijinkan berlatih
menunggang kuda seperti saudara laki-lakinya, ia tak diijinkan berbicara dan
mengemukakan pendapatnya, ia harus diam saat di meja makan, ia tak boleh
terlambat bangun dan harus rajin serta masih banyak lagi perlakuan berbeda yang
diterima oleh Annisa dari orang tuanya sendiri yang merupakan Kiyai terhormat
di pesantren.
Dalam
pesantren Salafiah putri Al-Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan
yang harus tunduk pada laki-laki, sehingga Anissa beranggapan bahwa ajaran
Islam hanya membela laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi sangat
lemah dan tidak seimbang. Tapi protes
Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori, paman Anissa dari
pihak Ibunya yang selalu menemani Anissa, menghibur sekaligus menyajikan
‘dunia’ yang lain bagi Anissa.
Diam-diam Anissa menaruh hati pada
Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih
ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan, ayah Anissa, sekalipun bukan
sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba menghindari perasaannya pada
Anissa. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa yang
mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, Indonesia,
dan diterima. Namun Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa
menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian
jauh dari orang tua. Namun Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.
Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin , seorang anak Kyai
dari pesantren Salaf besar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak,
tetapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin yang
berperangai kasar dan ringan tangan menikah lagi dengan Kalsum. Harapan untuk
menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Annisa kemudian rela
dipologami, Annisa sebagai isteri
pertama menjalin hubungan yang baik dengan isteri kedua suaminya. Mereka bahkan
tak segan berbagi. Namun, kembalinya Khudori ke Indonesia membuat Annisa berani
menceritakan semua kekejaman Syamsuddin terhadapnya. Akhirnya, ia memilih
bercerai.
Rasa cinta Annisa dan Khudori tidak
bisa disembunyikan. Hanya saja keduanya terganjal restu. Akhirnya mereka memutuskan hidup masing-masing
sambil menunggu restu juga masa iddah Annisa habis. Annisa melanjutkan kuliah
di Jogjakarta sementara Khudori sibuk bekerja. Singkat cerita, Khudori akhirnya
meminang Annisa dan menikah atas persetujuan keluarganya. Mereka hidup bahagia
dan dikaruniai anak bernama Mahbub. Namun suatu waktu di sebuah pesta, pasangan
ini bertemu dengan Syamsuddin yang masih menaruh dendam. Hingga pada akhirnya
Khudori dikabarkan meninggal akibat kecelakaan. Annisa meyakini kematian
suaminya disebabkan oleh Syamsuddin. Tapi ia tak punya bukti yang cukup. Ia
pada akhirnya memilih ikhlas dan hidup bersama anaknya. Anissa terus berjuangan untuk membela hak-hak
perempuan muslim di tengan rintangan keluarga pesantrennya yang konservatif, sampai
akhirnya ia berhasil mengangkat derajat wanita di mata laki-laki dan
menyadarkan banyak orang akan hal itu.
Dari
kisah film diatas kita bisa melihat ada unsur feminisme di film tersebut, yang
mana pemikiran feminisme berupaya membongkar pemahaman bahwa posisi seseorang
dalam masyarakat baik dari sisi sosial, ekonomi dan politik, tidaklah
ditentukan melalui jenis kelamin (Iva Rachmawati, 2012). Hal itu
terlihat dari sikap Anissa yang berusaha menyetarakan kedudukan perempuan dan
laki-laki agar kaum perempuan tidak lagi dipandang rendah di mata laki-laki.
Anissa
berusaha melawan tradisi islam konservatif yang berlaku di pesantrennya
lantaran tradisi itu sangat mengekang kaum wanita. Sebagaimana dikatakan oleh
Boucheir: “a sexist man may be described as a male chauvinist, a man who
takes up a position, either consciously or instrinctively, of domination (and
egotism) over and againts women, by virtue merely of his status as a man"(D. Bouchier, 1983) Yang artinya “Sex berpengaruh terhadap
bagaimana seseorang dibedakan baik dalam sebuah institusi ataupun budaya dan
hal ini dipergunakan untuk meletakan perempuan dalam posisi inferior terhadap
laki-laki”.
Pada
hakikatnya ajaran agama Islam tidaklah mengekang atau merendahkan perempuan,
justru agama Islam hadir dengan memuliakan kaum perempuan, kita bisa lihat dari
hadits Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa surga terletak di bawah kaki
ibu.
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ
السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ
أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ:
نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin
Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi saw lalu
berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang
kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau
berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau
bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga
itu di bawah kedua kakinya.”
Prof. Dr. Musdah Mulia juga berpendapat bahwa Islam hadir demi membela
kelompok tertindas (al-mustadh’afin), baik secara kultural maupun
struktural. Diantara kelompok-kelompok al-mustadh’afin yang paling menderita di
masa itu adalah perempuan. Tidak heran jika misi Rasulullah SAW banyak
berkaitan dengan upay-upaya pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan (Musdah Mulia, 2014).
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa: 19
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak. (QS. An-Nisa: 19)
Dalam Islam laki-laki dan
perempuan juga mengemban tugas yang sama, Allah juga memberikan peluang yang
sama kepada kedua jenis mahkluk ini untuk mendapatkan pahala, ampunan, dan
surga yang sama. Banyak ayat Al-Quran yang secara tegas menyatakan hal ini, di
antaranya ialah firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab: 35
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ
وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ
وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا
وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab: 35).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar