Senin, 13 November 2017

Review Film Perempuan Berkalung Sorban dengan Konsep Feminis dan pandangan islam akan perempuan



Ketika kita mempelajari studi Gender, maka kita akan disuguhkan dengan istilah Bias Gender, Kesetaraan Gender, Feminis dan Maskulin. Pada kali ini penulis akan menguraikan unsur-unsur Feminis dan ketidak setaraan gender yang terdapat pada film Perempuan Berkalung Sorban yang dirilis pada penghujung tahun 2008, serta pandangan islam akan perempuan.





Film Perempuan Berkalung Sorban sangatlah kental dengan nuansa ketidakberdayan perempuan di mata laki-laki, film tersebut syarat dengan nuansa kaum maskulin yang begitu rendah memandang kaum feminim dan menganggapnya sebagai kaum marginal. Film ini bercerita tentang perjuangan seorang wanita pesantren yang berusaha untuk mengangkat derajat wanita agar setara dengan laki-laki, ia berusaha berontak dari ketimpangan kedudukan yang terjadi di pesantrennya. Ia membuktikan bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bahkan Allah SWT memuliakan wanita dengan menjadikan surga di bawah telapak kakinya, denga usaha yang gigih ia berhasil mengangkat derajat perempuan dan membuka mata oarang banyak yang selama ini menganggap bahwa wanita lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki. Sebelum saya mereview film ini saya akan menjelaskan secara singkat sipnosis dari film ini. 



Film ini berkisah mengenai perjalanan hidup Anissa, seorang wanita berkarakter cerdas, berani, dan berpendirian kuat. Anissa hidup dan dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi Islam konservatif di keluarga Kyai yang mengelola sebuah pesantren kecil Salafiah putri Al-Huda di Jawa Timur, Indonesia. Dalam lingkungan dan tradisi konservatif tersebut, ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur’an, Hadits dan Sunnah, dan buku-buku modern dianggap sebagai ajaran menyimpang.
 
Annisa mulai merasakan adanya perlakuan yang ganjil bagi dirinya. Ia merasa haknya dikecikan jika dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Annisa tak diijinkan berlatih menunggang kuda seperti saudara laki-lakinya, ia tak diijinkan berbicara dan mengemukakan pendapatnya, ia harus diam saat di meja makan, ia tak boleh terlambat bangun dan harus rajin serta masih banyak lagi perlakuan berbeda yang diterima oleh Annisa dari orang tuanya sendiri yang merupakan Kiyai terhormat di pesantren



Dalam pesantren Salafiah putri Al-Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan yang harus tunduk pada laki-laki, sehingga Anissa beranggapan bahwa ajaran Islam hanya membela laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi sangat lemah dan tidak seimbang.  Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori, paman Anissa dari pihak Ibunya yang selalu menemani Anissa, menghibur sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Anissa. 





Diam-diam Anissa menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan, ayah Anissa, sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba menghindari perasaannya pada Anissa. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa yang mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, Indonesia, dan diterima. Namun Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Namun Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.



Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin , seorang anak Kyai dari pesantren Salaf besar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tetapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin yang berperangai kasar dan ringan tangan menikah lagi dengan Kalsum. Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Annisa kemudian rela dipologami, Annisa sebagai isteri pertama menjalin hubungan yang baik dengan isteri kedua suaminya. Mereka bahkan tak segan berbagi. Namun, kembalinya Khudori ke Indonesia membuat Annisa berani menceritakan semua kekejaman Syamsuddin terhadapnya. Akhirnya, ia memilih bercerai.  

Rasa cinta Annisa dan Khudori tidak bisa disembunyikan. Hanya saja keduanya terganjal restu. Akhirnya mereka memutuskan hidup masing-masing sambil menunggu restu juga masa iddah Annisa habis. Annisa melanjutkan kuliah di Jogjakarta sementara Khudori sibuk bekerja. Singkat cerita, Khudori akhirnya meminang Annisa dan menikah atas persetujuan keluarganya. Mereka hidup bahagia dan dikaruniai anak bernama Mahbub. Namun suatu waktu di sebuah pesta, pasangan ini bertemu dengan Syamsuddin yang masih menaruh dendam. Hingga pada akhirnya Khudori dikabarkan meninggal akibat kecelakaan. Annisa meyakini kematian suaminya disebabkan oleh Syamsuddin. Tapi ia tak punya bukti yang cukup. Ia pada akhirnya memilih ikhlas dan hidup bersama anaknya. Anissa terus berjuangan untuk membela hak-hak perempuan muslim di tengan rintangan keluarga pesantrennya yang konservatif, sampai akhirnya ia berhasil mengangkat derajat wanita di mata laki-laki dan menyadarkan banyak orang akan hal itu.


Dari kisah film diatas kita bisa melihat ada unsur feminisme di film tersebut, yang mana pemikiran feminisme berupaya membongkar pemahaman bahwa posisi seseorang dalam masyarakat baik dari sisi sosial, ekonomi dan politik, tidaklah ditentukan melalui jenis kelamin (Iva Rachmawati, 2012). Hal itu terlihat dari sikap Anissa yang berusaha menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki agar kaum perempuan tidak lagi dipandang rendah di mata laki-laki.

Anissa berusaha melawan tradisi islam konservatif yang berlaku di pesantrennya lantaran tradisi itu sangat mengekang kaum wanita. Sebagaimana dikatakan oleh Boucheir: “a sexist man may be described as a male chauvinist, a man who takes up a position, either consciously or instrinctively, of domination (and egotism) over and againts women, by virtue merely of his status as a man"(D. Bouchier, 1983)  Yang artinya “Sex berpengaruh terhadap bagaimana seseorang dibedakan baik dalam sebuah institusi ataupun budaya dan hal ini dipergunakan untuk meletakan perempuan dalam posisi inferior terhadap laki-laki”.  


Pada hakikatnya ajaran agama Islam tidaklah mengekang atau merendahkan perempuan, justru agama Islam hadir dengan memuliakan kaum perempuan, kita bisa lihat dari hadits Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa surga terletak di bawah kaki ibu. 

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.” 


         Prof. Dr. Musdah Mulia juga berpendapat bahwa Islam hadir demi membela kelompok tertindas (al-mustadh’afin), baik secara kultural maupun struktural. Diantara kelompok-kelompok al-mustadh’afin yang paling menderita di masa itu adalah perempuan. Tidak heran jika misi Rasulullah SAW banyak berkaitan dengan upay-upaya pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan (Musdah Mulia, 2014).

              Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa: 19

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa: 19)

            Dalam Islam laki-laki dan perempuan juga mengemban tugas yang sama, Allah juga memberikan peluang yang sama kepada kedua jenis mahkluk ini untuk mendapatkan pahala, ampunan, dan surga yang sama. Banyak ayat Al-Quran yang secara tegas menyatakan hal ini, di antaranya ialah firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab: 35

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab: 35).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar