Rabu, 27 Juli 2016

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN



KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP KONFLIK LAUT CINA SELATAN
 

Pendahuluan
Pasca berakhirnya Perang Dingin, kawasan Asia Pasifik mengalami perubahan-perubahan dalam pengelolaan keamanan kawasan. Perubahan tersebut ditandai dengan munculnya beberapa negara yang berperan sebagauaktor-aktor kekuatan baru di kawasan, seperti Jepang, India, Korea Selatan, Australia, dan lain-lain. Aktor-aktor tersebut semakin meningkatkan intensitas interaksi antara kekuatan-kekuatan utama kawasan, seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia. Kawasan Asia Pasifik menunjukan pertimbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan diikuti pula oleh peningkatan kebutuhan energi.

Dengan kemajuan ekonomi yang tinggi dan krisis ekonomi dan energi dunia, telah mendorong negara-negara tersebut untik mencari pemenuhan kebutuhan energinya. Masing-masing negaraberupaya mencari sumber sumber minyak bumi untuk dieksploitasi. Salah satu upayanya, negara-negara disekitar perairan Laut Cina Selatan, khususnya yang berdekatan dengan kepulauan Spratly, memperluas wilayahnya dengan mengklaim pulau-pulau dan perairan yang berdekatan, sehingga menimbulkan tumpang tindih batas wilayah yang menyebabkan sengketa teritorial yang mengarah kepada konflik bersenjata antara negara, seperti antara Cina dengan Vietnam dan Filipina, Malaysia dengan Filipina.
Sengket teritorial semakin memanas sejak Cina semakin asertif menyatakan klaimnya atas seluruh wilayah Laut Cina Selatan pada tahun 1947 dan cenderung menolak upaya damai. Cina menggelar latihan militer di sejumlah pulau yang disengketakan. Tindakan Cina menimbulkan protes dari negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan dan menganggapnya sebagai pelanggaran kedaulatan. Protes muncul dari Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi saling dukung antara Vietnam, Filipina, dan Malaysia untuk melawan Cina.

Dengan memanasnya sengketa kepemilikan kepulauan Spratly, AS berkeinginan turun tangan membantu upaya penyelesaian. Penolakan datang dari Cina karena menganggap keterlibatan AS menunjukan upaya Internasionalisasi sengketa. (Sukawarsini, 2015)


Sengketa Teritorial Kepulauan Spratly

Kepulauan Spratly telah menjadi salah satu objek saling klaim kedaulatan antar negara disekitarnya. Negara-negara yang terlibat saling klaim kedaulatan antar negara di sekitarnya. Negara-negara yang terlibat saling klaim adalah Cina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, Filipina, dan Brunei karena sangat tergantung dengan sumber daya alam yang terkandung di dasar lautnya. (Sukawarsini, 2015)

Perairan di sekitar Kepulauan Spratly merupakan landas kontinen dengan kedalaman kurang dari 200 meter isobath dan sisanya lebih dari 200 meter. Saat ini, di area Perairan Kepulauan Spartly banyak terdapat oil rig yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan minyak dunia. Disamping itu, perairan Laut Cina Selatan, banyak dilalui oleh kapal-kapal laut, baik komersial, perdagangan, militer, dan pariwisata. Gugusan Kepulauan Spratly diperkirakan terdiri dari lebih dari 100 pulau karang dan pasir yang tersebar dan berkelompok. (Dieter, 1976)

Kepulauan Spratly diperkirakan telah didiami oleh manusia sejak tahun 600 SM sampai 3SM. Prediksi ini didasarkan pada pola migrasi masyarakat Nanyue dan kerajaan Champa yang telah bermigrasi dari kalimantan. (Graham, 1999)  pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, beberapa pelaut dari Eropa berlayar ke Kepulauan ini, dan memberi nama dengan “Spratly”. (David, 1995) sekitar tahun 1870, Angkatan Laut Inggris berlayar ke Kepulauan Spratly dan mengklaim kepemilikan. (Shavit, 1990)  perkembangan selanjutnya terjadi sengketa kepemilikan yang mengarah kepada konflik bersenjata regional, karena semakin banyak negara yang mengklaim kedaulatannya atas sebagian atau beberapa pulau.
Seiring permasalahan keamanan energi, sengketa semakin meningkat yang disebabkan oleh keuntungan strategis (ekonomi, politik, dan keamanan). Dalam usaha memperkuat klaim, negara-negara makin menunjukan tindakan yang lebih nyata, misalnya menempatkan pasukan, mendirikan bangunan, atau menjadikan obyek wisata di pulau-pulau yang telah dikuasai.

Dengan semakin asertifnya sikap Cina, AS menunjukan kepentingannya terhadap keamanan kawasan Laut Cina Selatana, seperti pernyataan Menteri Luar Negeri AS pada tanggal 19 September 2013, John Kerry, yang mendorong agar Cina segera menyepakati Code of Conduct yang telah disusun untuk mencegah terjadinya penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan atau menangani sengketa. Namun demikian, upaya AS tetap ditolak oleh Cina dengan menganggap AS terlalu mencampuri urusan sengketa. Dalam pertemuannya dengan Menlu RI, Menlu Cina, Wang Yi, menekankan upaya penyelesaian sengketa lebih bersifat bilateral antara Cina dengan negara-negara ASEAN. Upaya ini diwujudkan dengan membangun dan melaksanakan Declaration of Conduct (DOC) dan komunikasi yang intens secara hotline untik menyelesaikan masalah sengketa secara bertahap menuju kesepakatan DOC.

Tindakan negara-negara yang bersengketa juga didorong oleh disepakatinya konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS82) yang menegaskan adanya exclusive economic zone (EEZ), landas kontinen dan laut teritorial, serta hak-hak yang mengikutinya. Tidak mengherankan jika negara-negara yang bersengketa mempertahankan klaim mengingat hak-hak yang akan diperoleh. Bergabungnya Vietnam ke dalam ASEAN juga merupakan salah satu upaya untuk memperkuat posisi dalam menghadapi ancaman Cina. Sejak Cina memiliki kapal induk, telah muncul kehawatiran dari negara-negara yang bersengketa. Perkembangan tersebut memicu aksi protes negara-negara lainnya dan juga negara-negara besar yang mempunyai kepentingan ekonomi, strategis dan keamanan. Tindakan-tindakan Cina yang telah melibatkan kekuatan militer dapat mengancam stabilitas dan perdamaian di kawasan. (Sukawarsini, 2015)

Kebijakan AS dalam sengketa wilayah 

AS merupakan salah satu kekuatan yang menentikan perkembangan sengketa, sehingga kebijakan luar negeri Presiden Barck Obama mempengaruhi upaya penyelesaiannya. Arah kebijakan luar negeri AS terkait sengketa kepulauan Spratly, sangat berhubungan dengan arah kebijakan luar negeri AS secara umum dan di kawasan Asia Pasifik. Kebijakan tersebut seperti yang ditetapkan oleh Presiden Barck Obama yang cenderung melanjutkan langkah-langkah Presiden sebelumnya, yaitu Bill Clinton dan George W. Bush.

Pada masa pemerintahan Presiden Barck Obama, arah kebijakan luar negeri AS secara umum mengalami perubahan yang cukup signifikan, sehingga mempengaruhi juga arah kebijakan dalam sengketa Kepulauan Spratly. Pendekatan umum Presiden Obama sangat terkait dengan upaya untuk memulihkan perekonomian AS yang sedang mengalami krisis dan mengembalikan persepsi negara-negara di dunia tentang AS. (Colvin, 2009) 

Pendekatan utama politik luar negeri Presiden obama lebih menekankan pada upaya negoisasi dan kolaborasi daripada konfrontasi dan unilateralisme. Berbeda dengan pendekatan Presiden George W. Bush yang mengutamakan intervensi. (Chollet, 2008) dengan pendekatan ini penggunaan kekuatan militer AS cenderung dibatasi. (Krichick, 2007) dalam pertemuan di Trinidad dan Tobago, Presiden Obama menyampaikan : “Amerika Serikat tetap sebagai negara termakmur dan paling kuat di dunia, tetapi Amerika hanya satu negara sendiri, dan permasalahan yang kita hadapi tidak dapat diatasi hanya oleh satu negara saja. (Hayes, 2009)

Pernyataan diatas menunjukan bahwa AS mengutamakan kerja sama dengan negara-negara disekitarnya dalam mengatasi permasalahan dunia, sehingga arah kebijakan AS akan mendorong negara-negara yang bersengketa pada Kepulauan Spratly untuk berkerjasama secara damai serta mencapai efisiensi bagi AS. Pada bidang pertahanan yang mempengaruhi arah kebijakan adalah upaya mengurangi biaya yang tinggi dalam opersi militer. Kebijakan ditekankan pada pengurangan penggunaan kekuatan, serta membangun kekuatan negara aliansi. (Burns,2008) Intervensi melalui kekuatan militer hanya untuk melindungi rakyat AS, tanah air, aliansi, dan kepentingan utamanya. Dengan demikian arah kebijakan luar negeri AS terkait konflik Laut Cina Selatan akan lebih mengutamakan kepentingan strategis Laut Cina Selatan, Khususnya Filipina, kepentingan ekonomi dan keamanan AS.

Kesimpulan
Kebijakan luar negeri AS di kawasan Asia Tenggara pada masa  pemerintahan Presiden Barack Obama, terkait dengan sengketa teritorial Kepulauan Spratly dalah mengambil posisi netral terhadap setiap negara, termasuk dengan Filipina. Pendekatan umum kebijakan AS adalah pemulihan ekonomi. AS mengutamakan keamanan kepentingan ekonomi berupa investasi besar perusahaan-perusahaan di Asia. AS menekankan upaya damai dan menentang setiap penggunaan ataupun ancaman penggunaan kekuatan militer. Untuk menjalanknan kebijakannya, AS menerapkan strategi penyeimbangan dan berfokus pada Asia Timur. Kebijakan tersebut dilakukan dengan memberdayakan kekuatan-kekuatan di kawasan untuk bertindak secara bersama-sama menyelesaikan sengketa. Tujuan utama adalah menyeimbangkan kekuatan di kawasan untuk bertindak secara bersama-sama menyelesaikan sengketa. Tujuan utama adalah menyeimbakan kekuatan di kawasan sekaligus membendung hegemoni Cina di Asia. Kebijakan untuk mewujudkan efisiesni penggunaan kekuatan militer yang membutuhkan anggaran besar, sehingga membantu menyelesaikan masalah pemulihan ekonomi AS yang sedang dilakukan oleh Presiden obama.

Daftar Pustaka
Djelantik, sukawarsini. (2015). Asia Pasifik Konflik, Kerjasama, dan Relasi Antarkawasan. Jakarta: Pustaka Obor.
Heinzig, Dieter. (1976). Disputed Island in the South China Sea. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
Hancox, David. (1995). A Geographical Description of the SpratlyIsland and an Account of Hydrographic Sirveys Amongst Those Island.
Clovin, Ross. (2009). Biden vows break with Bush era Foreign Policy. Canada Toronoto: Postmedia Network.
Chollet, Derek. (2008). Good Riddance to the Bush Doctrine. Washington: Washington Post.
Krichick, James. (2007). The Obama Doctrine. The Providence Journal.
Hayes, Stephen F. (2009). Thoughts on an “Obama Doctrine”. The Weekly Standard.
Burns, Robert. (2008). Analysis: Obama defense agenda resembles Gates. Associated Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar