KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP
KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Pendahuluan
Pasca berakhirnya Perang Dingin, kawasan
Asia Pasifik mengalami perubahan-perubahan dalam pengelolaan keamanan kawasan.
Perubahan tersebut ditandai dengan munculnya beberapa negara yang berperan sebagauaktor-aktor
kekuatan baru di kawasan, seperti Jepang, India, Korea Selatan, Australia, dan
lain-lain. Aktor-aktor tersebut semakin meningkatkan intensitas interaksi
antara kekuatan-kekuatan utama kawasan, seperti Amerika Serikat, Cina, dan
Rusia. Kawasan Asia Pasifik menunjukan pertimbuhan ekonomi yang cukup tinggi
dan diikuti pula oleh peningkatan kebutuhan energi.
Dengan kemajuan ekonomi yang tinggi dan
krisis ekonomi dan energi dunia, telah mendorong negara-negara tersebut untik
mencari pemenuhan kebutuhan energinya. Masing-masing negaraberupaya mencari
sumber sumber minyak bumi untuk dieksploitasi. Salah satu upayanya,
negara-negara disekitar perairan Laut Cina Selatan, khususnya yang berdekatan
dengan kepulauan Spratly, memperluas wilayahnya dengan mengklaim pulau-pulau
dan perairan yang berdekatan, sehingga menimbulkan tumpang tindih batas wilayah
yang menyebabkan sengketa teritorial yang mengarah kepada konflik bersenjata
antara negara, seperti antara Cina dengan Vietnam dan Filipina, Malaysia dengan
Filipina.
Sengket teritorial semakin memanas sejak
Cina semakin asertif menyatakan klaimnya atas seluruh wilayah Laut Cina Selatan
pada tahun 1947 dan cenderung menolak upaya damai. Cina menggelar latihan
militer di sejumlah pulau yang disengketakan. Tindakan Cina menimbulkan protes
dari negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan dan menganggapnya sebagai
pelanggaran kedaulatan. Protes muncul dari Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan,
dan Brunei. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi saling dukung antara
Vietnam, Filipina, dan Malaysia untuk melawan Cina.
Dengan memanasnya sengketa kepemilikan
kepulauan Spratly, AS berkeinginan turun tangan membantu upaya penyelesaian.
Penolakan datang dari Cina karena menganggap keterlibatan AS menunjukan upaya
Internasionalisasi sengketa. (Sukawarsini, 2015)
Sengketa Teritorial Kepulauan Spratly
Kepulauan Spratly telah menjadi salah
satu objek saling klaim kedaulatan antar negara disekitarnya. Negara-negara
yang terlibat saling klaim kedaulatan antar negara di sekitarnya. Negara-negara
yang terlibat saling klaim adalah Cina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, Filipina,
dan Brunei karena sangat tergantung dengan sumber daya alam yang terkandung di
dasar lautnya. (Sukawarsini, 2015)
Perairan di sekitar Kepulauan Spratly
merupakan landas kontinen dengan kedalaman kurang dari 200 meter isobath dan
sisanya lebih dari 200 meter. Saat ini, di area Perairan Kepulauan Spartly
banyak terdapat oil rig yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan minyak
dunia. Disamping itu, perairan Laut Cina Selatan, banyak dilalui oleh
kapal-kapal laut, baik komersial, perdagangan, militer, dan pariwisata. Gugusan
Kepulauan Spratly diperkirakan terdiri dari lebih dari 100 pulau karang dan
pasir yang tersebar dan berkelompok. (Dieter, 1976)
Kepulauan Spratly diperkirakan telah
didiami oleh manusia sejak tahun 600 SM sampai 3SM. Prediksi ini didasarkan
pada pola migrasi masyarakat Nanyue dan kerajaan Champa yang telah
bermigrasi dari kalimantan. (Graham, 1999) pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20,
beberapa pelaut dari Eropa berlayar ke Kepulauan ini, dan memberi nama dengan
“Spratly”. (David, 1995) sekitar tahun 1870, Angkatan Laut Inggris berlayar ke
Kepulauan Spratly dan mengklaim kepemilikan. (Shavit, 1990) perkembangan selanjutnya terjadi sengketa
kepemilikan yang mengarah kepada konflik bersenjata regional, karena semakin
banyak negara yang mengklaim kedaulatannya atas sebagian atau beberapa pulau.
Seiring permasalahan keamanan energi,
sengketa semakin meningkat yang disebabkan oleh keuntungan strategis (ekonomi,
politik, dan keamanan). Dalam usaha memperkuat klaim, negara-negara makin
menunjukan tindakan yang lebih nyata, misalnya menempatkan pasukan, mendirikan
bangunan, atau menjadikan obyek wisata di pulau-pulau yang telah dikuasai.
Dengan semakin asertifnya sikap Cina, AS
menunjukan kepentingannya terhadap keamanan kawasan Laut Cina Selatana, seperti
pernyataan Menteri Luar Negeri AS pada tanggal 19 September 2013, John Kerry,
yang mendorong agar Cina segera menyepakati Code of Conduct yang telah
disusun untuk mencegah terjadinya penggunaan kekuatan militer dalam
menyelesaikan atau menangani sengketa. Namun demikian, upaya AS tetap ditolak
oleh Cina dengan menganggap AS terlalu mencampuri urusan sengketa. Dalam
pertemuannya dengan Menlu RI, Menlu Cina, Wang Yi, menekankan upaya
penyelesaian sengketa lebih bersifat bilateral antara Cina dengan negara-negara
ASEAN. Upaya ini diwujudkan dengan membangun dan melaksanakan Declaration of
Conduct (DOC) dan komunikasi yang intens secara hotline untik
menyelesaikan masalah sengketa secara bertahap menuju kesepakatan DOC.
Tindakan negara-negara yang bersengketa
juga didorong oleh disepakatinya konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional
(UNCLOS82) yang menegaskan adanya exclusive economic zone (EEZ), landas
kontinen dan laut teritorial, serta hak-hak yang mengikutinya. Tidak
mengherankan jika negara-negara yang bersengketa mempertahankan klaim mengingat
hak-hak yang akan diperoleh. Bergabungnya Vietnam ke dalam ASEAN juga merupakan
salah satu upaya untuk memperkuat posisi dalam menghadapi ancaman Cina. Sejak
Cina memiliki kapal induk, telah muncul kehawatiran dari negara-negara yang
bersengketa. Perkembangan tersebut memicu aksi protes negara-negara lainnya dan
juga negara-negara besar yang mempunyai kepentingan ekonomi, strategis dan
keamanan. Tindakan-tindakan Cina yang telah melibatkan kekuatan militer dapat
mengancam stabilitas dan perdamaian di kawasan. (Sukawarsini, 2015)
Kebijakan AS dalam sengketa wilayah
AS merupakan salah satu kekuatan yang
menentikan perkembangan sengketa, sehingga kebijakan luar negeri Presiden Barck
Obama mempengaruhi upaya penyelesaiannya. Arah kebijakan luar negeri AS terkait
sengketa kepulauan Spratly, sangat berhubungan dengan arah kebijakan luar
negeri AS secara umum dan di kawasan Asia Pasifik. Kebijakan tersebut seperti
yang ditetapkan oleh Presiden Barck Obama yang cenderung melanjutkan
langkah-langkah Presiden sebelumnya, yaitu Bill Clinton dan George W. Bush.
Pada masa pemerintahan Presiden Barck
Obama, arah kebijakan luar negeri AS secara umum mengalami perubahan yang cukup
signifikan, sehingga mempengaruhi juga arah kebijakan dalam sengketa Kepulauan
Spratly. Pendekatan umum Presiden Obama sangat terkait dengan upaya untuk
memulihkan perekonomian AS yang sedang mengalami krisis dan mengembalikan
persepsi negara-negara di dunia tentang AS. (Colvin, 2009)
Pendekatan utama politik luar negeri
Presiden obama lebih menekankan pada upaya negoisasi dan kolaborasi daripada
konfrontasi dan unilateralisme. Berbeda dengan pendekatan Presiden George W.
Bush yang mengutamakan intervensi. (Chollet, 2008) dengan pendekatan ini
penggunaan kekuatan militer AS cenderung dibatasi. (Krichick, 2007) dalam
pertemuan di Trinidad dan Tobago, Presiden Obama menyampaikan : “Amerika
Serikat tetap sebagai negara termakmur dan paling kuat di dunia, tetapi Amerika
hanya satu negara sendiri, dan permasalahan yang kita hadapi tidak dapat
diatasi hanya oleh satu negara saja. (Hayes, 2009)
Pernyataan diatas menunjukan bahwa AS
mengutamakan kerja sama dengan negara-negara disekitarnya dalam mengatasi
permasalahan dunia, sehingga arah kebijakan AS akan mendorong negara-negara
yang bersengketa pada Kepulauan Spratly untuk berkerjasama secara damai serta
mencapai efisiensi bagi AS. Pada bidang pertahanan yang mempengaruhi arah
kebijakan adalah upaya mengurangi biaya yang tinggi dalam opersi militer.
Kebijakan ditekankan pada pengurangan penggunaan kekuatan, serta membangun
kekuatan negara aliansi. (Burns,2008) Intervensi melalui kekuatan militer hanya
untuk melindungi rakyat AS, tanah air, aliansi, dan kepentingan utamanya.
Dengan demikian arah kebijakan luar negeri AS terkait konflik Laut Cina Selatan
akan lebih mengutamakan kepentingan strategis Laut Cina Selatan, Khususnya
Filipina, kepentingan ekonomi dan keamanan AS.
Kesimpulan
Kebijakan luar negeri AS di kawasan Asia
Tenggara pada masa pemerintahan Presiden
Barack Obama, terkait dengan sengketa teritorial Kepulauan Spratly dalah
mengambil posisi netral terhadap setiap negara, termasuk dengan Filipina.
Pendekatan umum kebijakan AS adalah pemulihan ekonomi. AS mengutamakan keamanan
kepentingan ekonomi berupa investasi besar perusahaan-perusahaan di Asia. AS
menekankan upaya damai dan menentang setiap penggunaan ataupun ancaman
penggunaan kekuatan militer. Untuk menjalanknan kebijakannya, AS menerapkan
strategi penyeimbangan dan berfokus pada Asia Timur. Kebijakan tersebut
dilakukan dengan memberdayakan kekuatan-kekuatan di kawasan untuk bertindak secara
bersama-sama menyelesaikan sengketa. Tujuan utama adalah menyeimbangkan
kekuatan di kawasan untuk bertindak secara bersama-sama menyelesaikan sengketa.
Tujuan utama adalah menyeimbakan kekuatan di kawasan sekaligus membendung
hegemoni Cina di Asia. Kebijakan untuk mewujudkan efisiesni penggunaan kekuatan
militer yang membutuhkan anggaran besar, sehingga membantu menyelesaikan masalah
pemulihan ekonomi AS yang sedang dilakukan oleh Presiden obama.
Daftar Pustaka
Djelantik, sukawarsini. (2015). Asia
Pasifik Konflik, Kerjasama, dan Relasi Antarkawasan. Jakarta: Pustaka Obor.
Heinzig, Dieter. (1976). Disputed Island
in the South China Sea. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
Hancox, David. (1995). A Geographical
Description of the SpratlyIsland and an Account of Hydrographic Sirveys Amongst
Those Island.
Clovin, Ross. (2009). Biden vows break
with Bush era Foreign Policy. Canada Toronoto: Postmedia Network.
Chollet, Derek. (2008). Good Riddance to
the Bush Doctrine. Washington: Washington Post.
Krichick, James. (2007). The Obama
Doctrine. The Providence Journal.
Hayes, Stephen F. (2009). Thoughts on an
“Obama Doctrine”. The Weekly Standard.
Burns, Robert. (2008). Analysis: Obama
defense agenda resembles Gates. Associated Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar